Sunday, August 22, 2010

PANIK DAN TRAUMA

Setting latar, di kantin kilang, setelah berkumandang adzan magrib kira-kira jam 19.43 waktu Pulau Pinang, Malaysia.

Kami masih menikmati makanan buka puasa yang ada di meja. Kebetulan pas berangkat kerja tadi aku beli es cendol campur.

Temenku sebangku sesekali melihat hp, facebook.

"mbak, di jogja ada gempa lagi."ujarnya kalut.

Aku yang masih menikmati es cendol masih tenang.

"Darimana tau?"
"ini, temen2ku pada update status ada gempa lagi, kuat!"

Buru-buru ku lihat hp, facebook, dan ku lihat teman2ku di jogja update status yang sama.

JOGJA GEMPA LAGI!


Panik dan cemas, segera ku cari nomer mamak, berusaha ku telpon tapi nihil,

NETWORK BUSY. .

Ku coba berulangkali, tapi tetap sama.

Lalu ku alihkan ke nomer adikku.. Terhubung. . .

"katanya ada gempa lagi di jogja?"tanyaku tanpa basa-basi setelah tau tlpn diangkat.
"kayaknya sih iya, aku di Wonosobo, jadi ga tau. . ."

Klik. . Telpon mati. .aku harus buru-buru masuk kerja lagi. . . . Ku coba tenangkan hati dan berdoa agar tak terjadi apa-apa. .

Masih jelas terekam dalam otakku kenangan mei 2006 lalu. . Trauma itu masih tersisa kini. . .


Jam setengah 9 aku kembali keluar, sekalian sholat isya'.
Dalam perjalanan ke surau, kucoba hubungi nomer mamak lagi.

Alhamdulillah, suara mamak melegakan hatiku.

"alhamdulillah, semua ga kenapa2. Cuman masih kaget aja. Takut kayak yang dulu. Ni mamak aja masih gemetaran." terang mamak saat kutanya keadaan di sana.

"tadi aku telpon feri katanya lagi di wonosobo. ."

"iya, tadi berangkat. Aku juga sms adikmu itu tp ga dibales."


Setelah masuk surau aku matikan telpon. Berharap semua kan baik-baik saja. . .

*&*


Ya ALLAH, lindungi keluargaku, sahabatku dan orang-orang yang aku cintai. Karena Engkaulah sebaik-baik tempat berlindung. . . . . .

Tuesday, August 17, 2010

KERUPUK 17-AN, MAKNA PERJUANGAN

Lidah itu menjulur-julur menggapai kerupuk yang tergantung di atas sebuah tali rafia. Tangannya terikat ke belakang. Di sekelilingnya, para penonton bersorak girang, memberi semangat para peserta agar segera menghabiskan kerupuk sebiji yang tergantung bergoyang-goyang. Sedangkan panitia, asyik menggoda dengan menyendal-nyendal tempat gantungan, agar kerupuk itu makin menari dan lebih susah lagi untuk para peserta meraihnya. Lidah itu masih terjulur berusaha mengunci kerupuk agar tak terlepas dari mulut kecilnya. Dan akhirnya gigitan terakhir diselesaikannya dengan baik, diiringi sorak-sorai penonton menyambut kemenangannya.

*&*

Aku sudah lupa kapan kali terakhir aku menikmati kemeriahan acara 17-an seperti itu. Lomba makan kerupuk yang memang sudah mendarah daging sebagai acara rutin di saat perhelatan akbar, sebagai pesta kemerdekaan negara tercinta, tentu saja selain lomba panjat pinang. Ya, dulu waktu aku masih kecil perlombaan yang paling tenar adalah lomba makan kerupuk, lomba kelereng dan lomba puncaknya adalah lomba panjat pinang.

Lomba makan kerupuk memang sudah menjadi tradisi dan mengakar di benak setiap anak kecil di tiap kampung, seperti kami. Lomba yang kelihatannya sangat mudah, tapi jika kita sendiri yang berada di tengah para peserta akan tahu bagaimana rasanya sedikit perjuangan hanya untuk sebuah kerupuk.
Mencari hikmah, ya, apakah lomba makan kerupuk itu hanya sekedar acara tradisi atau ada makna disebalik kegiatan itu?? Mungkin orang ada yang berpikir, hanya kerupuk saja, kenapa harus rela pegel lehernya karena mendongak berusaha mencapai kerupuk yang terikat pada sebuah tali. Tapi aku melihat dari sudut pandang lain, saat aku memutuskan untuk ikut lomba makan kerupuk belasan tahun silam, aku ada tujuan, tujuanku adalah kemenangan. Seperti para pejuang dan pahlawan itu kan, tujuan mereka adalah kemerdekaan negeri kita. Lalu pada saat panitia memberi aba-aba dimulailah sebuah perjuangan, perjuangan untuk meraih kemenangan, tidak mudah memang, kerupuk yang tergantung tidak mudah untuk ditaklukkan, perlu strategi untuk bisa mengunci kerupuk dalam mulut agar tak terlepas lagi. Begitu pula dengan para pejuang dulu, mereka menggunakan strategi untuk mengusir para penjajah. Tak hanya konfrontasi tapi juga diplomasi. Dan pada saat sentilan gigitan terakhir, teriring sorak-sorak penonton menandakan sebuah kemenangan, kemerdekaan dari keterikatan. Seperti bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, semua rakyat bersorak, menyambut teriakan MERDEKA!!!


Dalam rangka memeriahkan lomba makan kerupuk 17-an di blog oleh http://anazkia.blogspot.com/2010/08/ramadhan-maaf-maafan-dan-17an.html

Ketika Menelpon Rumah

Menjadi seorang perantau sekian tahun, acara menelpon rumah adalah sebuah kewajiban. karena hanya itu satu-satunya cara mengobati rindu pada keluarga. jaman sudah canggih napa ga pake internet aja, YM an atau yang lagi ngetrend pesbukan?? hmmm..... orangtuaku hanyalah orang kampung ga tidak mengerti tentang semua itu. mereka mengenal HP saja setelah aku berada jauh dari sisi mereka. mereka bukan orang yang berpendidikan, lagipun darimana uang untuk biaya pasang internet sedangkan buat makan sehari-hari saja sudah terasa mencekik. satu-satunya jalan mengobati kerinduan adalah dengan  telepon. setiap habis gaji, aku usahakan untuk menelpon rumah, berarti 2 minggu sekali aku akan menghubungi mamak dan bapak di rumah.

kadang aku merasa jengkel juga, kalo mendengar mamak dan bapak ribut di telepon. tiap telpon dua-duanya harus ada. maksudnya jika aku pas telpon bapak ga ada, maka lain waktu aku harus kembali menelpon agar dua-duanya adil. selalunya kalo aku menelpon hanya mamak yang ada di rumah, jadi semua cerita dimonopoli mamak. dan ujung-ujungnya bapak akan mengirim sms, "kok suwi ora telpon??" kalo sudah begitu akan segera menelpon bapak. walaupun lagi-lagi obrolan dimonopoli mamak, karena bicara dengan bapak hanya sebentar saja. entah mengapa, memang bapak sudah puas dengan mendengar suaraku saja, tak banyak bercerita, jika sudah mendengar  suaraku, maka telppon akan segera bapak kasih ke mamak, dan lagi-lagi, aku bercerita dengan mamak sampai pulsa habis.

tapi beberapa waktu terakhir ini, bapak banyak sekali bicara padaku setiap telpon, menanyakan tentang satu hal. meyakinkan aku, memberi wejangan. dan kalian tahu apa yang dikatakan mamak??? "bapak wae sing digoleki". hahaha... mamakku cemburu, karena setiap telpon aku akan bilang "bapak mana??" karena aku lebih nyaman bicara "masalah" itu dengan bapakku.


menelpon rumah, menjadi hal yang menyenangkan untukku, sebagai pelepas rindu akan kedua orangtuaku. menelpon rumah, menjadi hal yang menyenangkan untukku, karena dalam telpon aku bisa berbicara lepas, tak seperti aku berhadapan langsung dengan mereka.