"jangan
mengagumi mawar karena warnanya dan jangan membencinya kerana durinya"
Sepenggal kalimat yang aku dapatkan dari sebuah blog
yang berisi kisah inspiratif beberapa taun yang lalu. Kata-kata itu
sampai sekarang masih saja terngiang dalam pikiranku. Dan masih terus
aku cari makananya.
Dalam cerita yang ditulis dib log tersebut, betapa
penulis sangat menyesal karena hanya melihat seseorang dari pandangan
seklas dan atas pengalaman buruk masa lalu yang kemudian membauanya
berprasangka buruk pada orang yang mememuinya kala itu.
Kemudian aku
teringat beberapa kejadian yang hamper sama dengan apa yang dialami oleh
penulis dalam blog tersebut. Peristiwa yang diawali dengan berburuk
sangka hanya karena sebuah peristiwa masa lalu yang membuat “trauma”.
Sebagai
seorang TKI di Malaysia, tentu tidak heran lagi dengan penampilan
sebagian besar teman-teman TKI cowok yang terkesan amburadul. Dengan
pakaian yang saya bilang “entah” dan dengan potongan rambut panjang
sehingga mencerminkan sifat gahar dan menakutkan. Dan itulah yang saya
alami selama kurun waktu 2006-2007 di Malaysia. Bahkan dengan
teman-teman seperantauan di Malaysia saya merasa
ketakutan. Teringat kembali beberapa keeping memori saat saya
bersinggungan dengan mereka, tentu saja pengalaman yang “menakutkan”
dalam tanda petik.
Pernah suatu kali saat saya dan 3 orang teman hendak
bepergian dengan angkutan umum di sana kami bersinggungan dengan dua
orang rekan TKI, walaupun kami tak mengenal tapi sedapat mungkin kami
bersikap sopan, walaupun terkesan cuek. Tapi apa yang terjadi? Dua orang
yang berpenampilan sangar dengan seenaknya membentak kami yang tak
merasa berbuat apa-apa. Kata-kata kasar akhirnya meluncur dan membuat
kami ketakutan.
Kejadian kedua, lagi-lagi
di angkuatan umum, saat aku pulang dari belanja. Eh, ternyata ada
segerombolan mereka yang naik bus yang sama denganku. Sampai-sampai bus
itu penuh dengan gerombolan mereka. Hampir semuanya berambut panjang,
ada yang lurus, ada yang panjang mengembang, ada yang diurai, ada juga
yang diikat, (aku merasa rambutku kalah sama rambut mereka). Takut. Ya,
tentu saja aku dan temanku seorang lagi ketakutan. Dalam otak kami
sudah tertanam rasa tidak nyaman jika melihat mereka, inikan lagi berada
di tngah-tengah mereka, benar-benar di tengah.
Mereka ngobrol
dengan sesama mereka, dengan kata-kata khas (maaf, bukan bermaksud
SARA) Jawa Timurannya yang terkesan kasar di telingaku. Kata-kata kasar
termuntah begitu saja disela obrolan mereka. Sedikit kudengar salah satu
diantara mereka yang nyeletuk, “podo-podo wong nJowo ae kok
sombong.” Kalimat yang ditujukan untukku dan temanku yang mereka
bilang sombong, padahal sama-sama orang Jawa. Sebenarnya bukan niat
bersikap sombong tapi melihat sikap dan tingkah serta penampilan
merekasaja sudah membuat kami ketakutan. Apalagi dengan gaya
“nakal” menambah rasa tidak nyaman. Jadi, bagaimana mau bersikap ramah
atau sok akrab dengan mereka. Perjalanan yang hanya sepuluh menit
itu menjadi terasa lama sekali buatku. Waktu hampir sampai di bus
stop tempatku buru-buru aku memencet tombol tanda minta bus
berhenti. Tapi terlambat, salah satu dari mereka telah menekannya lebih
dahulu. Dan itu berarti mereka turun di tempat yang sama dengan
tempatku. Memang tempatku komplek makanan Indonesia,
jadi seringkali TKI-TKI yang datang ke kawasan ini.
Turun dari
bus, masih saja aku berada di antara gerobolan mereka yang jumlahnya
kuperkirakan lebih dari 20 orang, seolah-olah aku dan kawanku bagian
dari mereka. “iki bocah loro iki meneng wae, sombonge poll,” kata
salah satu orang di belakang kami, yang menyebut kami sombong banget
karena daritadi diam saja. “ben nak sombong-sombong disikep wae
mengko!” jawab yang di depan kami. Demi mendengar kalau tetap
sombong nanti akan dipeluk maka aku menarik tangan temanku dan
cepat-cepat berjalan ke seberang jalan dan menjauh dari mereka.
Terdengar suara tawa mereka, mungkin mereka menertawakan tindakan kami
yang langsung mengatur langkah seribu.
Lain lagi
cerita saat aku pergi ke seberang pulau bersama tiga orang temanku.
Setelah menyeberang dengan kapal
Nah apalagi yang ada dalam otakku? Aku hanya
berpikir semua dengan penampilan seperti itu adalah sama. TITIK!!
Kemudian kami, aku dan teman-temanku menyebut mereka gondes alias
gondrong ndeso.
Tapi cerita kemuadiaun berbalik 180 derajat.
Tahun 2007, aku mulai
mengenal sosok Abe. Abe bukan nama aslinya, tapi Abe adalah sapaan buat
kakak lelaki di daerah Kelantan,
Malaysia.
Ya, aku memanggilnya begitu, karena aku telah menganggapnya seperti
seorang kakak. Abe adalah salah TKI yang ada di Malaysia
yang berasal dari Tuban. Pertama mengenalnya waktu kami sama-sama chat
di portal WAP nya MAXIS, salah satu provider di Malaysia.
Pada saat itu banyak kenalanku orang-orang melayu. Tapi ternyata ada
juga TKI sepertiku. Sosok Abe yang pengertian, sabar dan sering
bergurau, membuat aku semakin akrab. Ketakutan yang pernah bersemayam,
tentang TKI lelaki di Malaysia
perlahan sirna.
Apalagi setelah mengenal Abe lebih dekat dan
bertukar gambar. Bisa dibayangkan, gimana sosok Abe?? Dari gambar yang
ia kirim, aku benar-benar terkejut, ga nyangka kalo Abe sama seperti
sosok yang aku takutkan selama ini. Rambutnya panjang,keriting lagi,
sangar banget.
Tapi herannya aku ga takut lagi, hanya sms yang
kukirim, “Abe sebenarnya ganteng lho kalo potong rambut. Jadi ga serem
lagi” kemudian kujelaskan tentang ketakutanku dengan orang-orang
gondrong seperti Abe yang tak lain kawan TKI di Malaysia ini, yang
terkesan amburadul dan urakan. Kuceritakan gimana takutnya aku ketika
harus berhadapan dengan orang-orang seperti itu. Abe hanya tertawa
terkekeh-kekeh dengan ceritaku, kemudian ia menjelaskan bahwa itu
pilihan yang ia jalani. Satu hal yang aku ingat, “Dek, jangan lihat
mereka dari penampilan mereka. Ga semua dari mereka itu jahat. Rambut
panjang dan kesan urakan itu memang benar, tapi kadang hati mereka lebih
baik dari yang kita sangka.”
Akhir tahun 2007, Abe yang
selama ini kosongan merencanakan pulang kembali ke tanah air. Kosongan
adalah sebutan bagi mereka yang ada dalam Malaysia
ini yang tanpa permit kerja alias ilegal. Maka malam itu aku tak
henti-hentinya sms-an dengannya, sampai dia berhasil sampai Johor dan
sesaat sebelum ia berangkat menyeberang dengan kapal. Di tanah air,
sempat Abe menghubungiku beberapa kali, mengucapkan selamat hari raya
dan sekedar bertanya kabar, sampai aku kehilangan jejaknya karena
mungkin ia tukar nomer.
Pertengahan tahun 2008, masih di
portal WAP yang dulu mempertemukan aku dengan Abe, kuterima sebuah
pesan untuk segera menghubungi sebuah nomer. Abeku kembali! Ya, Abe dah
masuk kembali ke Malaysia
tentu saja sekarang dengan cara yang legal. Kami kembali berhubungan,
masih sms-an dan saling cerita. Kebanyakan aku curhat dengan Abe,
tentang apapun. Dan dengan sabar dia akan dengar segala keluh kesahku,
bahkan dia akan ngasih solusi dengan bijak. Abe selalu mengingatkanku
tentang kebaikan,dan menghiburku saat aku lagi sedih. Pernah dia buatku
tertawa saat aku paksa dia kirim gambar terbarunya, dan
traraaaaaaaaaaa…. Rambut yang dulu panjang dah habis, bersih. Tinggal
rambut cepak yang ga sampe 1 cm,
mungkin Abe habis potong gundul. Tambah ganteng dia kalo berambut
cepak. “Ah, adek ni bikin Abe malu.”katanya. Sampai sekarang, setelah 3
tahun persahabatanku dengan Abe, masih saja sama. Dia masih Abe yang
dulu, Abe yang selalu mengingatkan aku tentang kebaikan, Abe yang selalu
yang menghiburku saat aku sedih, dan Abe si gondes yang baik hati,
hehehehe.
Berawal dari Abe lah aku belajar, bahwa hati
seseorang tak dapat dilihat dari penampilannya. Bisa saja, orang-orang
rapi, ganteng, berdasi itu adalah pembohong yang jahat. Dan orang-orang
yang kusebut gondes, yang notabene terkesan urakan dan amburadul itu ada
banyak nilai yang bisa kita ambil. Intinya kata Abe jangan lihat dari
penampilannya, salami dulu hati budinya.
Cerita lain
pengalaman yang menarik dengan para gondes ini saat pertengahan tahun
2009 kemarin. Lagi-lagi aku ikut chat di salah satu provider di Malaysia
yang menyediakan layanan untuk cari teman sesama pekerja Indonesia.
Mulai gabung di sana
berawal dari chatting dan kemudian berlanjut telepon konferen, yang
biasa kami sebut onair-an. Dari sana kami saling mengenal lebih
dekat dan saling berbagi cerita, tentang gimana pekerjaan mereka,
tentang pengalaman mereka, berapa lama mereka kerja di sini dan masih
banyak lagi hal yang aku dapat. Bertukar gambar adalah salah satu cara
kami saling mengenali, dan ternyata banyak juga yang masih gondes
(opst!! Maaf ya!!). Tapi aku ingat pesan Abe padaku dulu, jangan lihat
mereka dari penampilan mereka, tapi kenali dulu mereka, baru kita bisa
menilai apakah dia layak untuk kita jadikan teman atau patut dijauhi.
Paling
berkesan dari kawan-kawan chat ini adalah rasa kebersamaan dari mereka,
saat salah satu dari mereka ga ada kerja, maka yang lain akan mencarikan
kerja di tempat yang mereka tahu. Maklum biasanya mereka memakai permit
bebas, yang bermakna bisa berpindah tempat kerja dan cari majikan yang
mereka inginkan, walau banyak juga yang kosongan. Dan juga pada saat
bulan puasa tahun lalu, mereka selalu membangunkan aku tuk sahur,
kemudian menemani makan sahurku lewat telepon konferen, jadi semangat
makan sahurnya. Sayang pada saat lebaran aku ga bisa ikut kopdaran di
KLCC. Tapi mereka tetap ingat aku, satu per satu telepon aku sambil ngiming-imingi
kemeriahan acara kopdarannya. Menyesal karena ga bisa ikut pertemuan
itu, padahal sudah diajakin bareng ma salah satu teman yang ada di
seberang bahkan dibayarin tiketnya. Tapi tetap ga bisa ikut, karena
lebaran kemaren merupakan lebaran terakhir bersama teman-teman serumah,
dan cuti yang hanya 1 hari tidak memungkinkan untuk pergi ke Kuala Lumpur.
Akhirnya
pas raya haji, aku bisa pergi ke Kuala Lumpur,
karena pada saat itu aku cuti. Dan menghubungi beberapa teman, akhirnya
aku bisa bertemu dengan mereka. Padahal saat itu aku cuma bermodal
nekat, karena selama hampir 4 tahun aku belum pernah bepergian sejauh
itu sendirian di Malaysia ini, apalagi aku ga ada tujuan sama sekali, ga
kenal sama sekali. Setelah perjalanan selama 5 jam akhirnya sampai di
terminal bus Puduraya, dan di sana aku dijemput salah satu dari mereka,
kemudian menemui teman-teman yang lain, sambil makan di Kota Raya. Hari
berikutnya jalan-jalan dan ketemuan sama yang lain lagi di Central
Market, kemudian diajak karaokean di Sogo. Pengalaman yang sangat
berkesan karena mereka baik padaku. Lagi-lagi apa yang dikatakan Abe
dulu benar, bahwa penampilan tidak menjamin hati mereka.
Sekarang
aku tak lagi memandang sebelah mata pada yang kami sebut gondes-gondes
itu. Malah sekarang aku bangga pada mereka, tentang ketegaran mereka
menantang matahari setiap hari, tentang ketangguhan mereka, juga tentang
kesabaran mereka. Hidup itu pilihan bagi setengah orang, tapi bagi
sebagian lagi, tak ada pilihan lagi dalam hidup. Aku yakin jika ditanya
merekapun ga akan mau kerja berpanas-panasan tiap hari di negeri orang
tapi itulah yang mereka jalani, karena di negeri sendiri tak ada pilihan
buat mereka. Aku belajar tentang sebuah keikhlasan dalam diri mereka.
Keikhlasan dalam menjalani hidup dan cara mensyukuri hidup. Nah sekarang
aku ga perlu takut lagi dengan mereka, kalaupun nanti jika di bus atau
di shopping complex aku berjumpa dengan sosok gondes-gondes
lagi hanya pasang senyum aja. Tak perlu menampakkan muka ketakutan, jika
mereka ngajak ngobrol dengan cara yang baik sebisa mungkin aku akan
bersikap ramah.
Nah aku
kemuadian ingat quote di atas, seperti dalam blog yang pernah aku baca “ jangan membenci mawar hanya
karena pernah tertusuk durinya”. Dan sampai sekarang
kata-kata itu aku ingat selalu, bahwa kita tak boleh berprasangka buruk
pada orang hanya karena penampilan atau kejadian buruk yang ada pada
masa lalu. Samapi sekarang aku selalu berusaha untuk berpikiran positif
pada setiap orang. Yah, kata itulah yang menjadi the
soundtrack of my life selama beberapa tahun ini.
(*terimakasih tuk Om Suga atas tulisan yang
sangat menginspirasi)
Quote diambil dari blog om Suga
http://bit.ly/jGpEgJ
Gambar mawar dari http://bit.ly/jwaidn
Logo Swaragama
di download dari : http://bit.ly/lRg95Q